Peringatan terhadap
Kartini, sering dinisbatkan menjadi gerakan tuntutan untuk kaum perempuan. Tapi
tuntutannya penuh amarah
Setiap memperingati Hari Kartini di bulan April,
selalu dikaitkan dengan gerakan emansipasi wanita yang ujungnya dibelokkan
menjadi masalah "kesetaraan" kaum perempuan.
Emansipasi wanita, sering dinisbatkan menjadi
gerakan tuntutan agar kaum perempuan bisa masuk ke bidang-bidang yang diminati
sama dengan pria. Baik di ranah politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Tak
jarang, sampai masuk ke wilayah agama yang sudah jelas dasar dan ketentuannya.
Belakangan, istilah emansipasi ini sudah samar-samar terdengar. Berganti dengan
istilah baru dari Barat, bernama `kesetaraan gender'. Kampanye kesetaraan
gender ini sudah dirasakan di hampir semua lini kehidupan masyarakat kita.
Kesetaraan, sering dipersepsi dengan penuntutan
terhadap berbagai `penindasan' terhadap kaum wanita di dalam kehidupan politik
dan pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, maupun dalam kehidupan keluarga.
Seiring dengan derasnya arus globalisasi budaya, menyebabkan gerakan
`kesetaraan gender', yang dibawah kaum feminis dari Barat, menyebar cepat ke seluruh
pelosok dunia, termasuk di pesantren-pesantren.
Feminisme atau paham kesetaraan gender semakin
deras pengaruhnya, setelah digelarnya Konferensi PBB IV tentang perempuan di
Beijing tahun 1995. Di Indonesia, hasil konferensi tersebut dilaksanakan oleh
para feminis, baik melalui lembaga pemerintah, seperti tim Pengarusutamaan
Gender Depag, Departemen Pemberdayaan Perempuan, maupun melalui LSM-LSM yang
kian menjamur.
Di ranah pendidikan tinggi, telah didirikan
institusi-institusi Pusat Studi Wanita (PSW/PSG). Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan, dalam www.mennegpp.go.id, melaporkan, jumlah PSW hingga
tahun 2005 telah mencapai 132 di seluruh universitas di Indonesia.Feminisme
akhirnya menjadi global theology (agama global) dan semakin mengakar pengaruhnya
di Indonesia, setelah masuk dalam 10 program PKK dan diresmikannya UU Pemilu
2003 Pasal 65 Ayat 1 yang menyatakan batas minimal keterwakilan perempuan
sebagai anggota DPR/DPRD dari setiap partai adalah 30%. (Ninuk Mardiana,
Kompas, 16/4/07).
Namun dalam perkembangannya, gerakan feminisme
seolah "ngelunjak" (makan hati, red) dan telah merambah ke dalam
ranah studi Islam. Bahkan kampanye menuntut keadilan dan peran sosial yang
lebih luas bagi wanita seringkali mengabaikan ajaran agama.
Alih-alih berharap memperjuangkan kesetaraan
gender, para pengkiblat dan pengekor Barat ini juga menuntuk `kesetaraan' hak
waris, hak menjadi imam shalat dan hak azan, hak penyamaan batasan aurat dan
pakaian ihram, aqiqah, kesaksian, air kencing bayi, kepemimpinan dalam negara
dan rumah tangga, isu-isu perkawinan, termasuk masalah kewalian, mahar, hak
talak, masa 'iddah, dan poligami.
Bahkan yang mengejutkan, atas nama `kesetaraan'
gender pula, mereka menuntut hal-hal yang jelas dilarang oleh Al-Quran. Di
antaranya menuntut dibolehkan menikah dengan lelaki non-muslim, dibolehkan
memilih pasangan lesbian (hubungan sejenis antara wanita dengan wanita, sebagai
hal yang pernah diperangi di zaman Nabi Luth).
Pangkal masalah
Pada intinya, feminisme dalam batasan tertentu
lebih menyerupai `teologi kemarahan'. Gugatan feminisme sebenarnya berawal dari
kerancuan pandangan Barat dalam memaknai keadilan, rasional, dan HAM.
Dalam The New Oxford Dictionary of English
dijelaskan bahwa tindakan yang adil berarti kualitas yang adil dan rasional
(the quality of being fair and reasonable). Sedangkan rasional di kamus ini
diartikan sebagai tindakan atau pertimbangan yang dasarnya sejalan dengan akal
atau logika. Namun anehnya, penggunaan contoh kata rasional dalam kalimat,
ternyata sikap rasional selalu dinisbahkan pada kaum laki-laki. She's not being
very rational; Man is a rational being.
Dalam masyarakat Barat terjadi perdebatan sengit
yang menuntut penafsiran ulang terhadap Alkitab yang dipandang penyebab utama
dalam merendahkan wanita. Pada tahun 1837, Sarah Grimke menyatakan bahwa
penafsiran bible secara sengaja dibiaskan terhadap kaum perempuan guna
mempertahankan posisi subordinatif (sekunder) mereka. Maka pada tahun 1895,
dipublikasikanlah Woman's Bible.
Penyelidikan terhadap peran negatif Alkitab ini,
seperti dijelaskan oleh Michael Keene, dipusatkan pada 5 bidang, di antaranya
membuat penafsiran alternatif atas teks-teks biblis yang menindas perempuan,
seperti teks Alkitab yang mengharuskan perempuan tutup mulut di gereja
(1Korintus 14:34-35). Dan menyertakan perempuan dalam konsep ketuhanan. (M.
Keene, 2006: 146-147)
Lebih lanjut, Letty M. Russel dalam bukunya
Feminist Interpretation of The Bible menjelaskan, 3 metode tafsir feminis terhadap
Alkitab, yaitu:
a) Mencari teks yang memihak perempuan untuk menentang
teks-teks terkenal yang digunakan untuk menindas perempuan.
b) Menyelidiki
Kitab Suci secara umum untuk menemukan perspektif teologis yangmengkritik
patriarki. c) Menyelidiki teks tentang perempuan untuk belajar dari sejarah dan
kisah perempuan kuno dan modern yang hidup dalam kebudayaan patriarkal.
(Kanisius, Yogyakarta, 2003: 86-90)
Ringkasnya, gerakan feminisme di Barat muncul
sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap teks-teks biblis (teks bible), di
antaranya I Timotius 2:12-14, Kejadian 3:16, I Korintus 14:34-35, Wahyu 17:5-6,
Efesus 5:22-23, dan Hosea 3:1. Maka mereka pun menolak terus-menerus membaca
teks-teks kitab suci dan tradisi patriarkal kuno yang sudah mapan, seperti dijelaskan
Nicola Slee, teolog feminis Inggris. (M. Keene, 2006: 46).
Buku Feminist Approaches to the Bible menjelaskan:
"The Bible was born and bred in a land of patriarchy; it abounds in male
imagery and language". (h.7) Di bagian lain juga dinyatakan: "In
Western culture, the Bible has provided the single most important sustaining
rationale for the oppression of women". (Dalam budaya Barat, Bibel telah
memberikan satu alasan paling penting untuk mempertahankan penindasan
perempuan, red). (h.47)
Reaksi atas teologi kemarahan ini sangat terlihat
dalam pertemuan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) VII di Pekanbaru,
21-24 Nopember 2007 lalu. Alih-alih ingin memberikan konstribusi ilmu ilmu-ilmu
keislaman dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan, ACIS justru menjadi
ajang dan usaha "meliberalkan studi Islam" di lingkungan Perguruan
Tinggi Agama Islam dengan cara yang tidak bermartabat.
Dalam sesi paralel "Islam dan Masalah Hak
Asasi Manusia (HAM)" misalnya, pembahasan banyak difokuskan pada usaha
mendiskriditkan hukum Islam, menentang ulama fikih yang bermartabat, dan
memposisikan MUI sebagai pihak terdakwa. Dalam makalah "Mengubah Wajah
Fikih Islam" misalnya, diusulkan munculnya corak fikih baru yang bernuansa
`pluralis' yang menjamin hak kebebasan dalam beragama, termasuk hak untuk
menafsirkan agama.
Juga diusulkan pembuatan Fikih Berkeadilan Gender
sebagai ganti Fikih Patriarkhi, Fikih non-Rasial pengganti Fikih Rasial, dan
Fikih Lokal Indonesia pengganti Fikih Lokal Arab. Dengan pengertian ini, mereka
seolah menuduh kitab fikih yang disusun para fuqaha terdahulu telah membawa
kepentingan subjektif.
Penutup
Walhasil, teologi gender ini (penulis lebih suka
menyebut teologi kemarahan) adalah kental kepanjangan tangan Barat. Sementara,
umat Islam memiliki tradisi dan khazanah keilmuan yang berbeda dengan Barat.
Menerapkan framework feminisme Barat dalam studi Islam, ibarat keledai
yang membawa sekarung kerang dan merendamnya di sungai. Dia mengira hal itu
akan mengurangi bebannya seperti yang dilakukan keledai lain yang membawa
sekarung garam. Fenomena ini tak kurang sebagai bentuk minimnya perhatian
terhadap masalah keilmuan. Ini mengingatkan kata-kata Abu Thalib al-Makki yang
dikutip Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya, "Tidak ada pekerjaan maksiat
yang lebih jahat daripada kebodohan (jahl), dan kebodohan terbesar adalah tidak
mengenali kebodohan (al-jahlu bil jahli)."http://miumipusat.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar