Sabtu, 28 Juli 2012

Feminisme dan Teori Kemarahan

Peringatan terhadap Kartini, sering dinisbatkan menjadi gerakan tuntutan untuk kaum perempuan. Tapi tuntutannya penuh amarah

Setiap memperingati Hari Kartini di bulan April, selalu dikaitkan dengan gerakan emansipasi wanita yang ujungnya dibelokkan menjadi masalah "kesetaraan" kaum perempuan.

Emansipasi wanita, sering dinisbatkan menjadi gerakan tuntutan agar kaum perempuan bisa masuk ke bidang-bidang yang diminati sama dengan pria. Baik di ranah politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Tak jarang, sampai masuk ke wilayah agama yang sudah jelas dasar dan ketentuannya. Belakangan, istilah emansipasi ini sudah samar-samar terdengar. Berganti dengan istilah baru dari Barat, bernama `kesetaraan gender'. Kampanye kesetaraan gender ini sudah dirasakan di hampir semua lini kehidupan masyarakat kita.

Kesetaraan, sering dipersepsi dengan penuntutan terhadap berbagai `penindasan' terhadap kaum wanita di dalam kehidupan politik dan pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, maupun dalam kehidupan keluarga. Seiring dengan derasnya arus globalisasi budaya, menyebabkan gerakan `kesetaraan gender', yang dibawah kaum feminis dari Barat, menyebar cepat ke seluruh pelosok dunia, termasuk di pesantren-pesantren.

Feminisme atau paham kesetaraan gender semakin deras pengaruhnya, setelah digelarnya Konferensi PBB IV tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Di Indonesia, hasil konferensi tersebut dilaksanakan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah, seperti tim Pengarusutamaan Gender Depag, Departemen Pemberdayaan Perempuan, maupun melalui LSM-LSM yang kian menjamur.

Di ranah pendidikan tinggi, telah didirikan institusi-institusi Pusat Studi Wanita (PSW/PSG). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, dalam www.mennegpp.go.id, melaporkan, jumlah PSW hingga tahun 2005 telah mencapai 132 di seluruh universitas di Indonesia.Feminisme akhirnya menjadi global theology (agama global) dan semakin mengakar pengaruhnya di Indonesia, setelah masuk dalam 10 program PKK dan diresmikannya UU Pemilu 2003 Pasal 65 Ayat 1 yang menyatakan batas minimal keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR/DPRD dari setiap partai adalah 30%. (Ninuk Mardiana, Kompas, 16/4/07).
Namun dalam perkembangannya, gerakan feminisme seolah "ngelunjak" (makan hati, red) dan telah merambah ke dalam ranah studi Islam. Bahkan kampanye menuntut keadilan dan peran sosial yang lebih luas bagi wanita seringkali mengabaikan ajaran agama.

Alih-alih berharap memperjuangkan kesetaraan gender, para pengkiblat dan pengekor Barat ini juga menuntuk `kesetaraan' hak waris, hak menjadi imam shalat dan hak azan, hak penyamaan batasan aurat dan pakaian ihram, aqiqah, kesaksian, air kencing bayi, kepemimpinan dalam negara dan rumah tangga, isu-isu perkawinan, termasuk masalah kewalian, mahar, hak talak, masa 'iddah, dan poligami.

Bahkan yang mengejutkan, atas nama `kesetaraan' gender pula, mereka menuntut hal-hal yang jelas dilarang oleh Al-Quran. Di antaranya menuntut dibolehkan menikah dengan lelaki non-muslim, dibolehkan memilih pasangan lesbian (hubungan sejenis antara wanita dengan wanita, sebagai hal yang pernah diperangi di zaman Nabi Luth).

Pangkal masalah
Pada intinya, feminisme dalam batasan tertentu lebih menyerupai `teologi kemarahan'. Gugatan feminisme sebenarnya berawal dari kerancuan pandangan Barat dalam memaknai keadilan, rasional, dan HAM.
Dalam The New Oxford Dictionary of English dijelaskan bahwa tindakan yang adil berarti kualitas yang adil dan rasional (the quality of being fair and reasonable). Sedangkan rasional di kamus ini diartikan sebagai tindakan atau pertimbangan yang dasarnya sejalan dengan akal atau logika. Namun anehnya, penggunaan contoh kata rasional dalam kalimat, ternyata sikap rasional selalu dinisbahkan pada kaum laki-laki. She's not being very rational; Man is a rational being.
Dalam masyarakat Barat terjadi perdebatan sengit yang menuntut penafsiran ulang terhadap Alkitab yang dipandang penyebab utama dalam merendahkan wanita. Pada tahun 1837, Sarah Grimke menyatakan bahwa penafsiran bible secara sengaja dibiaskan terhadap kaum perempuan guna mempertahankan posisi subordinatif (sekunder) mereka. Maka pada tahun 1895, dipublikasikanlah Woman's Bible.
Penyelidikan terhadap peran negatif Alkitab ini, seperti dijelaskan oleh Michael Keene, dipusatkan pada 5 bidang, di antaranya membuat penafsiran alternatif atas teks-teks biblis yang menindas perempuan, seperti teks Alkitab yang mengharuskan perempuan tutup mulut di gereja (1Korintus 14:34-35). Dan menyertakan perempuan dalam konsep ketuhanan. (M. Keene, 2006: 146-147)

Lebih lanjut, Letty M. Russel dalam bukunya Feminist Interpretation of The Bible menjelaskan, 3 metode tafsir feminis terhadap Alkitab, yaitu: 
a) Mencari teks yang memihak perempuan untuk menentang teks-teks terkenal yang digunakan untuk menindas perempuan. 
b) Menyelidiki Kitab Suci secara umum untuk menemukan perspektif teologis yangmengkritik patriarki. c) Menyelidiki teks tentang perempuan untuk belajar dari sejarah dan kisah perempuan kuno dan modern yang hidup dalam kebudayaan patriarkal. (Kanisius, Yogyakarta, 2003: 86-90)

Ringkasnya, gerakan feminisme di Barat muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap teks-teks biblis (teks bible), di antaranya I Timotius 2:12-14, Kejadian 3:16, I Korintus 14:34-35, Wahyu 17:5-6, Efesus 5:22-23, dan Hosea 3:1. Maka mereka pun menolak terus-menerus membaca teks-teks kitab suci dan tradisi patriarkal kuno yang sudah mapan, seperti dijelaskan Nicola Slee, teolog feminis Inggris. (M. Keene, 2006: 46).

Buku Feminist Approaches to the Bible menjelaskan: "The Bible was born and bred in a land of patriarchy; it abounds in male imagery and language". (h.7) Di bagian lain juga dinyatakan: "In Western culture, the Bible has provided the single most important sustaining rationale for the oppression of women". (Dalam budaya Barat, Bibel telah memberikan satu alasan paling penting untuk mempertahankan penindasan perempuan, red). (h.47)

Reaksi atas teologi kemarahan ini sangat terlihat dalam pertemuan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) VII di Pekanbaru, 21-24 Nopember 2007 lalu. Alih-alih ingin memberikan konstribusi ilmu ilmu-ilmu keislaman dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan, ACIS justru menjadi ajang dan usaha "meliberalkan studi Islam" di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam dengan cara yang tidak bermartabat.

Dalam sesi paralel "Islam dan Masalah Hak Asasi Manusia (HAM)" misalnya, pembahasan banyak difokuskan pada usaha mendiskriditkan hukum Islam, menentang ulama fikih yang bermartabat, dan memposisikan MUI sebagai pihak terdakwa. Dalam makalah "Mengubah Wajah Fikih Islam" misalnya, diusulkan munculnya corak fikih baru yang bernuansa `pluralis' yang menjamin hak kebebasan dalam beragama, termasuk hak untuk menafsirkan agama.
Juga diusulkan pembuatan Fikih Berkeadilan Gender sebagai ganti Fikih Patriarkhi, Fikih non-Rasial pengganti Fikih Rasial, dan Fikih Lokal Indonesia pengganti Fikih Lokal Arab. Dengan pengertian ini, mereka seolah menuduh kitab fikih yang disusun para fuqaha terdahulu telah membawa kepentingan subjektif.

Penutup
Walhasil, teologi gender ini (penulis lebih suka menyebut teologi kemarahan) adalah kental kepanjangan tangan Barat. Sementara, umat Islam memiliki tradisi dan khazanah keilmuan yang berbeda dengan Barat.
Menerapkan framework feminisme Barat dalam studi Islam, ibarat keledai yang membawa sekarung kerang dan merendamnya di sungai. Dia mengira hal itu akan mengurangi bebannya seperti yang dilakukan keledai lain yang membawa sekarung garam. Fenomena ini tak kurang sebagai bentuk minimnya perhatian terhadap masalah keilmuan. Ini mengingatkan kata-kata Abu Thalib al-Makki yang dikutip Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya, "Tidak ada pekerjaan maksiat yang lebih jahat daripada kebodohan (jahl), dan kebodohan terbesar adalah tidak mengenali kebodohan (al-jahlu bil jahli)."

copas: Tim Website MIUMI © All Rights Reserved 2012 

http://miumipusat.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar