Dalam
Catatan Wanita Berjaya
Hingar bingar pemilu mulai dating, semua yang dahulu biasa
saja menjadi luar biasa dengannya. Wajah-wajah yang dahulu manis kini menjadi
suram. Tak tahu apa maksudnya, apa semua politik kampus harus diliputi dengan
kesuraman atau mungkin semua tentang permusuhan? Semua tentu tidak,
silaturrahmi dan persahabatan akan terus ada sampai akhir menutup mata (walau
seperti nyanyian). Sebuah pembelajaran yang dibarengi dengan rasa tanggungjawab
yang membahana seharusnya ada pada diri politikus muda kampus ini. Teringat
saat penurunan orde lama oleh segenap mahasiswa yang saat itu serentak
mengatakan tidak pada korupsi, dihianati oleh perkataan-perkataan halus nan
imut seakan meminum ludah mereka sendiri saat mereka merasakan kenyamanan duduk
dan bertengger dikursi perwakilan rakyat.
Harapan umat ketika suatu golongan mahasiswa bersemangat
dalam pemilu kampus adalah dapat mengimplementasikan ilmu-ilmu murni yang pro
orang cilik keIndonesia yang berkemajuan. Terlihat partai A-Z
mengoar-ngoarkan janji-janji palsu yang menjadi pemuas nafsu semata,
seperti slogan penipu rakyat, lebih berpengalaman, teruskan, perbedaan
menjadi satu, dll. Seolah mereka belajar menjadi penipu ulung yang siap
ditembakan ditengah-tengah masyarakat. Bukankah Islam telah mengajarkan kepada
kita menjadi pemimpin dimanapun harus berlandaskan Shidiq, Amanah, Tablig,
dan Fathonah. Tidak memandang dari kalangan mana atau harus laki-laki
atau perempuan.
Serasa menjadi dogma-dogma yang terpendam dalam otak bawah
sadar kita, bahwa perempuan memimpin selalu menggunakan perasaan, dan laki-laki
selalu menggunakan emosi. Kelemahan itu seraya didampingi dengan munculnya golongan-golongan
feminis, yang menunjukan pembelaan terhadap kaum feminis yang tersisihkan atau
mungkin menjadi nomor dua. Melihat realita tak semudah dengan apa yang kita
ucapkan. Sampai kapan kita terlena dengan ucapan dan lidah palsu pemimpin
terdahulu, dan kapan kita mulai belajar dari pemimpin-pimimpin terdahulu yang
gagal akan kepemimpinannya, Soekarno dengan keotoriterannya begitupun
dengan Soeharto, Habibie dengan kelemahannya sampai-sampai Timor Timur
memisahkan dari Indonesia, dsb.
bukan maksud apa-apa, tapi segala pandangan
yang menempatkan posisi perempuan dalam posisi subordinat dari laki-laki jelas
bukan bagian dari pemahaman islam yang tepat, dan cenderung menyandarkan
pemahaman agamanya pada tafsir-tafsir sempit dan tidak peka dengan fakta-fakta
sejarah, sosiologis, dan psikologis . Ya, dalam fatwa-fatwa ulama klasik
perempuan memang tidak ditempatkan di ranah publik dan dilarang menjadi
pemimpin dengan alasan tertentu. tanpa melupakan penghargaan terhadap mereka,
alas an-alasan tersebut cenderung lahir dalam konstruksi budaya patriarki serta
sentimentil terhadap perempuan.
Emosi, maupun biologis jelas bukan faktor
determinan dalam menentukan kualitas suatu kepemimpinan. Al Qur'an justru
menceritakan kisah kemakmuran negeri Saba' karena dipimpin oleh perempuan, juga
dalam tarikh sejarah kita tidak bisa juga melupakan kepemimpinan Aisyah R.A.
dalam perang jamal. an Nisa ayat 34 dan hadis yang menyatakan bahwa tidak
beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan, bukan dalil yang mengharamkan
seorang perempuan menjadi pemimpin.
Kaidah fiqih لاَيُنْكَرُ تَغَيُّرُ الاَحْكَامِ
بِتَغَيُّرِالاَزْمَانِ وَالاَمْكِنَةِ (tidak bisa dipungkiri, perubahan hukum
bisa terjadi karena perubahan waktu dan tempat) harus menjadi pegangan.
at Taubah ayat 71 jelas menempatkan tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan
di hadapan Allah. Yusuf Qardhawi (Ketua
Persatuan Ulama Internasional) menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi
pemimpin dalam semua hal termasuk memegang kendali kekuasaan menurut
spesialisasi masing-masing, seperti jabatan memberi fatwa dan berijtihad,
pendidikan, kehakiman dan sebagainya. Sedangkan menurut Hamka (ulama
kharismatis Muhammadiyah) dalam tafsir al Azhar menyebutkan antara laki-laki
dan perempuan tidak dibedakan dalam hal berbuat kebajikan. Keduanya bersatu
dalam satu keyakinan, yaitu percaya kepada Allah SWT.
Dapat dipahami bahwa perempuan mempunyai
kesempatan yang sama dalam menegakkan Agama dan membangun masyarakat beriman.
Deklarasi OKI (Organisasi Kerjasama Islam) pada deklarasi Kairo tahun 1991
tegas menyatakan bahwa baik perempuan maupun laki-laki mempunyai kedudukan sama
dalam ruang publik, pembedaannya hanya ada pada fungsi keibuan. Putusan majelis
tarjih Muhammadiyah ke 17 di Padang tahun 2002 pun, juga memutuskan hal serupa.
Perempuan berhak berkiprah dalam ranah politik termasuk menjadi presiden. kita
harus menghargai semua pendapat, tapi akan lebih baik jika pendapat tersebut
dikuatkan dengan argumen-argumen teologis, filosifis, teoritis, pengalaman,
maupun kepekaan akan sejarah dan fakta psikologis. Jika tidak, terlebih
menyangkut persoalan agama terlebih yang sensitif seperti isu perempuan, maka
akan sangat kontraproduktif pada Islam itu sendiri. Penafsiran tekstual tidak
salah, bahkan sangat baik untuk menjaga kemurnian Islam. Tetapi jika dipahami
tekstual secara sempit, bukan malah tidak mungkin mendegradasi peran Islam
sebagai rahmatan lil 'alamin. Sejarah
nabi adalah revolusi melawan sistem sosial yang timpang, pemposisian perempuan
dalam posisi subordinat hanya akan melanggengkan
sejarah ketimpangan tersebut. HIDUP PEREMPUAN!!!