Senin, 21 Januari 2013

Quo Vadis IMMawati Sebagai Kader IMM Disampaikan di PC Pring sewu dalam RTL Messenger School IMMawati Lampung


Ketika IMM berada di tengah pergolakan politik, ekonomi, dan politik serta dinamika zaman yang tidak menentu dan begitu banyak tantangan, maka harapan kepada para Immawati sebagai kader IMM di berbagai struktur IMM di seluruh Indonesia. Quo vadis Immawati sebagai kader IMM ?, Apa yang telah dan dapat disumbangkan oleh Immawati untuk membesarkan IMM dan membawa organisasi mahasiswa Islam ini ke arah yang lebih berkemajuan ?, Baik Immawati yang berada di dalam maupun di luar struktur IMM, semuanya sebenarnya diikat oleh posisi dan doktrin mendasar yang sama yakni sebagai kader IMM yang hadir dan dilahirkan untuk mengemban misi gerakan amar ma’ruf nahi mungkar serta membumikan visi intelektualitas, religiusitas dan humanitasnya. Bagi immawati sebagai kader intelektual IMM yang telah dilahirkan dari kampus, maka seyogyanya menjadi prioritas untuk mengabdikan diri dan berperan sebagai lokomotif perubahan. IMM berkehendak agar immawati yang telah menjadi alumni untuk mentransformasikan dirinya menjadi politisi di berbagai partai politik, pengusaha dan kaum wirausahawan, budayawan, para guru, kaum professional, presiden, wakil presiden, dokter dan lain sebagainya, proses ini merupakan tolak ukur keberhasilan immawati dalam mengemban visi dan misi IMM.
Baik immwati yang berada di dalam maupun di luar struktur IMM maupun yang sudah menjadi alumni agar secara bersama dengan system gotong royong untuk membangun immawati, olek karena sudah saatnya menghimpunkan potensi dan kekuatannya sebagai kader IMM. Immawati dapat menjadi busur panah organisasi. Karena itu, Immawati sejatinya harus memiliki keunggulan dan kelebihan yang tidak dimiliki oleh kader pada umumnya. Keunggulan dalam spirit, motivasi, komitmen, integritas, kapabilitas, pengkhidmatan, pemikiran, karya, dan aktualisasi peran di mana pun dan kapan pun. Kualitas dan kiprah Immawati harus di atas rata-rata kader IMM yang lain. Immawati selalu siap mengemban misi organisasi di mana dan kapan pun dia berada. Baik diminta maupun tidak diminta, apakah berada dalam posisi memiliki jabatan maupun tidak, semestinya setiap kader akan selalu terpanggil untuk mengemban misi IMM. Immawati tidak boleh merengek manakala menghadapi tantangan, tetapi juga jangan angkuh jika memiliki keunggulan posisi dan peran di luar. Manakala immawati berperan tidak hitung-hitungan amal. Jika berbuat apa imbalannya ?, Lebih-lebih jika merasa sudah berkecukupan. Jangan sampai ketika berbuat kemudian IMM tidak memberikan imbalan kemudian lari dari IMM. Atau manakala berbuat tetapi disertai dengan sikap merendahkan keberadaan IMM, Jangan sampai kader memiliki pandangan negatif dengan menyatakan, “IMM hanya perkaderan dan lemah dan tidak ada aksentuasi gerakannya”, ini adalah hal yang mengandung isyarat merendahkan organisasi dan memandang diri begitu berjasa. IMM tidak akan memaksa kadernya untuk membesarkannya. Semuanya tergantung pada keikhlasan dan panggilan nurani setiap kader. Kader memang harus dihargai martabat dan kiprahnya, tetapi jangan sampai IMM diremehkan dan seolah-olah tidak mau tahu tentang perkembangan IMM baik buruknya. IMM secara kelembagaan memang harus terus-menerus menghimpun dan memanfaatkan potensi kadernya dari berbagai struktur IMM dengan melakukan pembinaan dan pemberdayaan kader. Tapi juga para kader immawati dituntut proaktif dan memiliki komitmen berkiprah dalam memperjuangkan visi dan misi IMM. IMM justru harus dibesarkan oleh para kader, anggota, dan para pimpinannya dengan sepenuh pengkhidmatan. Para Immawati harus menjadi teladan bagaimana menghormati prinsip, kepribadian, kebijakan dan tatanan yang selama ini menjadi fondasi dan bingkai gerakan immawati. Bukan malah mendeligitimasi dan memperlemah kelembagaan IMM, yang terpenting dan mendasar bahwa immawati tak perlu merasa cuek dan sombong dalam berIMM, justru sekarang bagaimana menjadikan IMM makin besar sebagai gerakan Mahasiswa Islam.
IMMAWATI : Penjarahan Adalah Nasib, Pembebasan Adalah Pilihan
Perbincangan terhadap perempuan dalam kaitannya dengan demokrasi dan otoritarianisme adalah sebuah topik yang selalu menarik. Karena tema itu akan mengajak kita mengeksploitasi lebih jauh posisi perempuan dalam dua konteks politik yang memiliki karakter yang sama sekali berbeda. Otoritarianisme senantiasa dipahami sebagai karakter kekuasaan yang menegasikan keragaman, tertutup, non kompetitif dan bekerja untuk dirinya sendiri. Sedangkan, demokrasi dibayangkan sebagai karakter kekuasaan yang lebih terbuka, egaliter, kompetitif dan pluralis. Di tengah perbedaan yang tegas antara dua karakter kekuasaan itu, banyak studi maupun analisis yang memperlihatkan bahwa perempuan cenderung berada dalam posisi yang sangat lemah, ketika berada dalam konteks struktur politik otoritarianisme. Karena bagaimanapun, dalam struktur hierarki penindasan yang bekerja di dalam politik otoritarianisme, perempuan menempati lapisan piramida korban yang paling bawah. Walaupun otoritarianisme adalah struktur kekuasaan yang paling menindas perempuan, namun otoritarianisme juga dipandang sebagai struktur politik yang mendorong lahirnya gerakan perempuan dan sekaligus membatasinya. Pengalaman historis di banyak negara menunjukkan bahwa gerakan perempuan justru terlahirkan sebagai “anak haram” dari “rahin” otoritarianisme. Dengan demikian, subordinasi dan pengabaianhak-hak perempuan sesungguhnya telah menjadi landasan bagi perempuan untuk melakukan gerakan. Di negara-negara otoriter, represi negara mendorong kaum perempuan menggelar aksi kolektif menuntut demokratisasi.
Pada awalnya, gerakan-gerakan perempuan tidak terlalu direspon serius oleh rezim otoriter, karena selalu dipandang “remeh” sebagai gerakan yang bersifat apolitis dibandingkan gerakan buruh ataupun gerakan mahasiswa. Namun, perkembangan berikutnya, gerakan perempuan dianggap semakin politis ketika gerakan perempuan bersinggungan dan bergandengan tangan dengan gerakan sosial yang lain untuk mengusung isu-isu yang lebih luas, seperti hak-hak azasi manusia, lingkungan, dan hak-hak warga negara. Pandangan bahwa agama menjadi salah satu penghambat perempuan berperan dalam politik muncul karena Islam melalui teks-teks keagamaan dan doktrinnya dipandang memberikan peraturan baku mengenai hak, kewajiban, dan tugas bagi laki-laki dan perempuan secara berbeda. Perbedaan-perbedaan itu dianggap melekat dalam jenis kelamin itu sendiri, terbawa sejak lahir dan tidak bisa diubah. Hal itu terjadi karena teks-teks keagamaan dipahami secara literal, apa adanya, tanpa menggunakan perangkat-perangkat metodologis yang memungkinkan untuk mendapatkan pemahaman lain yang lebih substansial dan sesuai dengan konteks pada saat teks tersebut muncul. Secara literal terdapat banyak teks keagamaan, baik Al-Qur’an maupun Hadits yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas kedua setelah laki-laki. Misalnya dalam kasus pembagian warisan dan poligami. Dalam kasus pembagian warisan, perempuan menjadi pihak yang mendapatkan bagian hanya separuh laki-laki. Namun, jika dikaji dengan metode hermeneutik atau melibatkan asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), sebenarnya agama justru hendak mengangkat derajat perempuan dan menempatkan perempuan sederajat dengan laki-laki. Hal ini jelas jika dilihat konteks sosio-historis sebelum Islam datang.
Peran immawati terhambat karena konstruksi sosial yang telah lama terbangun menempatkan immawati dalam konteks ruang yang terbatas, dan immawan ada dalam ruang-ruang kerjasama yang besar. Perbedaan peran antara immawan dan immawati kemudian dilanggengkan dan bahkan melembaga melalui institusi formal maupun non-formal, seperti struktur pimpinan, agenda perkaderan sampai pada forum kajian. Melihat dominannya doktrin agama dalam mempersempit ruang gerak immawati dengan problem partisipasi immawati, maka yang paling penting untuk immawati adalah bagaimana membangun peradaban yang setara, immawan dan immawati, sebab sebetulnya yang merupakan problem khas kader dalam IMM adalah secara keseluruhan tidak terakomodir dalam konteks isu, program, wacana intelektual dan pemikiran yang dapat memperkuat kapasitas organisasi baik berasal dari pusat, daerah, cabang dan komisariat. Problem-problem ini tentu harus direspon secara kolektif oleh kader IMM terutama di kalangan immawati, sebab immawati akan bisa diharapkan menjadi basis bagi tumbuhnya gerakan feminisme Islam yang berkeadaban. Sekarang ini selayaknya immawati sudah saatnya untuk bergerak dan menjadi “kaca cermin” bagi gerakan IMM yang merah sejati. Oleh karena immawati masih kurang mendapatkan ruang untuk mengekspresikan partisipasinya dalam konteks konstruksi gerakan IMM, Kalau kita mleihat kebelakang tentu banyak problem IMM apalagi terkurasnya idnetitas merahnya yang terkadang menjadi dan ada yang IMM merah Murni dengan IMM Merah Hijau serta IMM banyak warna di luar warna IMM asli. Seharusnya kader IMM meletakkan spirit Melatih Hijau Diatas Merah sebagai bentuk keberanian untuk melakukan pembebasan berdasarkan nilai-nilai keIslaman, Kiprah immawati maupun kader IMM secara keseluruh sangat dibutuhkan, sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia immawati harus bisa menjadi rujukan untuk gerakan perempuan di daerah lain diseluruh Indonesia maupun dunia.
IMMAWATI : Membaca, Berfikir, Menulis Dan Bertindak.
Sebenarnya, Saat ini kader IMM sudah banyak yang kreatif membaca, menulis, berfikir maupun diskusi untuk mengembangkan artikel-artikel lepas yang sepertinya sangat general. Apalagi IMM telah dinobatkan untuk menjadi organisasi mahasiswa Islam sebagai corong kekuatan intelektual dan pemikiran yang diletakkan oleh para founding father IMM sehingga kader IMM harus memperkuat daya baca, diskusi teoritis dan praksisnya, menulis, berfikir maju, maupun bertindak tegas terhadap pola gerakan yang dibangunnya. Menurut Trias Setiawati Sekretaris PP Aisyiyah dalam pidatonya pada acara Milad ke-44, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang jatuh pada hari Jum’at 14–03–2008, menyoroti peran Immawati sebagai anggota perempuan muhammadiyah yang memiliki peran strategis dalam upaya mewujudkan cita-cita Muhammadiyah Yaitu “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” oleh karena Immawati sebagai warga bangsa yang berpendidikan tinggi diharapkan kelak menjadi lokomotif kemajuan bagi bangsanya dan diharapkan mampu meningkatkan mutu dan jumlah anggota untuk menjadi calon pimpinan Muhammadiyah di masa depan yang maju dan mulia.37 Namun selama ini ada kesan bahwa Immawati lebih banyak berada di menara gading kampusnya, terpisah dari realita pergolakan kehidupan masyarakat dan bangsanya. Sementara di dalam kampus, para immawati juga belum mampu berperan sebagai kader intelekual yang kelak menjadi pencerah Muhammadiyah di masa depan. “Karena itulah Immawati harus meningkatkan daya baca, kemampuan bahasa, melek informasi dan teknologi serta siap dalam situasi apa pun dimana pun, kemudian sambil memberikan etos perjuangan, penguasaan berbagai ketrampilan baik hard maupun soft skill.

Menegaskan (Kembali) Peran IMMAWATI
Berbicara tentang peran immawati tidak terlepaskan dari seputar gerakan IMM secara umum dan gerakan feminisme khususnya. Dalam tradisi berbagai agama, kebudayaan maupun tradisi paradigma IMM, immawati dipandang sebagai Warga Ikatan yang dinomor duakan, dibawah immawan-immawan. Padahal secara kultural immawati berhak menjadi pimpinan dan tingkat kewajiban maupun pendidikan yang sama. Namun yang masih nampak sampai sekarang, Immawati yang notabene adalah immawati dianggap berperan dibelakang layar sebagai pendukung semua kiprah immawan-immawan yang menjadi pimpinan tanpa ada penegasan untuk keluar dari paradigma tersebut. Demikian tradisi dan diktrin kader IMM yang sebagian menempatkan immawati dalam porsi yang berbeda dari immawan. Terkait peran immawati harus ditafsir ulang oleh para immawati secara kolektif maupun pimpinan IMM yang berada di struktur IMM agar diskursus ini memiliki jalan keluar yang bisa membuat immawati keluar dari berbagai persoalan yang kompleks sekarang ini. Kesetaraan peran antara immawan dan immawati tentu sangat dibutuhkan karena hal itulah yang akan menjadikan sebagai basis utama untuk memperlihatkan kepada publik tentang otoritas penilaian maupun investasi zaman terhadap kaum perempuan femenisme. Bagi immawati akses politik, masuk ruang publik, politisi, akademisi, ilmuan immawati dan pekerjaan yang setara senantiasa harus dijadikan tema sentral yang diperuntukkan bagi immawati. Namun, tema sentral itu harus memiliki pijakan yang bersipat kolektif bahwa pembedaan peran ini terkait dengan konstruksi Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Pembedaan tersebut pada wilayah ritualisme (Ibadah) dalam konteks misalnya sholat, bahwa memang wanita tidak boleh mengimami laki-laki dalam sholat kecali sama-sama perempuan. Kemudian kalau masalah dalam konteks social budaya misalnya menjadi ketua umum organisasi, mengurus masalah domistik, pengajian, presiden di negara Islam, dakwah, bekerja, politisi, akademisi, pengusaha, dan lain sebagainya, itu semua di bolehkan, asalakan mengikuti apa yang di perintahkan oleh Allah dan sinnah Rasul. Jangan sampai ada terkesan bahwa perempuan itu hanya ditempatkan di lini kedua menangani urusan anak-anak dan memasak, Sementara laki-laki mencari makanan dan uang. Padahal secara prinsipil, tidak ada masalah dalam pembagian peran tetapi masalahnya sejauh mana mindset paradigma yang dibangun untuk memberikan ruang kepada perempuan untuk berkiprah sejauh yang mereka jangkau, bukan hanya peran domestik itu. Lebih jauh, mengikuti sejumlah teori psikologi, peran immawati dalam berkiprah di suatau organisasi sangat berkaitan dengan nilai kedamaian, toleransi, kejujuran dan kebesaran organisasi tersebut. Oleh karena organisasi yang mengutamakan peran perempuan dengan ketegasan, sikap dan tindakan yang senantiasa dinilai dengan benar, maka akan menjadi lebih terhormat serta mampu mengakomodir potensi yang ada demi mencapai tujuannya. Sebenarnya perbedaan dalam IMM seharusnya menjadi entri poin bagi kita sebagai kader IMM dalam mengapresiasi peran immawati sebagai penopang gerakan. Harus diakui, penghargaan terhadap kelebihan immawati belum mendapat tempat yang selayaknya. Fakta bahwa sebagian besar immawati mmeiliki potensi dan paradigma yang berbeda dalam pandangan untuk membawa Ikatan kearah kemajuan sebagai bukti betapa besar peran sentral immawati dalam perkembangan IMM.
Kemudian, nilai-nilai kesabaran yang telah ditumbuhkan terhadap immawati dirusak kondisi IMM yang bersifat statis. Sehingga karakter dan sikap mental atau karakter Immawati lebih banyak diwarnau dengan cara pandang subyektif akan kiprahnya.

Maka, implikasi problem seperti ini membuat immawati secara keseluruhan menjadi perempuan yang tidak memahami khittah dan identitas IMM. Menurut Immawan Khaerul Anas DPD IMM DIY, diskusi lewat via telpon pada tanggal 30 September 2009 mengatakan bahwa tantangan kader IMM sekarang ini oleh karena lemah dalam memberikan pemahaman dan doktrin tentang proses perjuangan Ikatan, apalagi immawati terlebih lagi dalam perkembangannya yang selalu kompleks dan monoton sehingga roh dan jiwa progresif immawati lentur dan kebanyakan tidak memaknai perjuangan immawati itu sendiri sehingga menjadikan immawati kerdil dalam pandangan gerakan perempuan lain di Indonesia. Maka oleh karena, sudah saatnya immawati dengan segenap tanggungjawab dan kemampuan untuk tidak menjadi second line immawan saja semata, sehingga nantinya immawati dengan kiprahnya bisa di harapkan sebagai vioner perempuan Indonesia seutuhnya.38 Akan tetapi bisa, bukan harus diposisikan sebagai second line selamanya namun harus menjadi mitra sejajar yang derajatnya sama dalam IMM, hanya saja ada perbedaan peran-peran yang dilakukan dan bisa diterima secara adil dan bermartabat. Format kesetaraan dalam IMM memang di benturkan pada perbedaan peran, inilah yang masih harus kita diskusikan bersama lebih jauh bersama Warga Ikatan. Maka kepada para immawati, Jangan patah arang dan tetaplah bersemangat dalam berjuang.
Memang saat ini IMM sangat membutuhkan kematangan berfikir Immawati sehingga menjadi lokus gerakan perempuan yang menjadi cerminan gerakan perempuan lain, namun harus di sadari kalau Berbicara tentang IMM, mungkin tidak akan bisa di selesaikan dalam satu malam diksusi di warng HIK. Atau juga tidak bisa di paparkan dalam rentetan kata demi kata yang berbaris menjadi kalimat yang kemudian di sisipkan dalam buletin atau buku tentang IMM. Ketika kita berbicara tentang IMM, baik itu menyangkut tentang kelemahan dan kelebihan IMM itu sendiri, sebagai kader IMM tentunya tidak terlepas pada sisi subjektifitas. Bahkan dalam tataran tertentu akan terjadi sebuah pembelaan dan sikap apologi atas sebuah keadaan yang terjadi di tubuh Ikatan. Namun apakah itu yang bisa kita lakukan demi menutupi kelemahan dan kebobrokan Ikatan kepada kader-kader Imm yang rata-rata progresif, militan, kritis, kritikus dan selalu gelisah melihat rentannya kehancuran di tubuh IMM itu sendiri. Sebagai sebuah gerakan mahasiswa Islam, usia seperempat abad seharusnya adalah usia keemasan. Usia dimana diidentikkan dengan fase kematangan. Baik kematangan gerakan, sikap organ dan matang dalam berpikir. Itu adalah sebuah kondisi yang normal, namun tidak demikian yang terjadi di IMM. Karena sejarah telah mencatat bahwasannya gerak Ikatan ini sering kali terhegemoni oleh system kekuasaan dan sipat hedonis kader yang memliki kepentingan materialis bahkan mengalami “koma” antara hidup dan mati (hidup segan mati tak mau), antara bergerak dan digerakkan, antara idealis dan pragmatis hedonis, antara cinta ikatan dan merusak ikatan, antara intelektual dan politik.
 
Praktisnya kita berfikir, bahwa jika menakar kembali keberadaan Immawati dalam tubih IMM di kancah pergerakan perempuan memang harus di pertanyakan oleh karena beberapa faktor, pertama, Faktor histories dan philosofisnya. Kedua faktor teologis perempuan. Ketiga, Faktor Idiologis dan praksisnya. Faktor inilah sebenarnya yang harus di gali oleh immawati dalam IMM ketika meletakkan batu pertama gerakannya pada basis feminisme Islam. Faktor ini juga merupakan bentuk landasan untuk memberikan argumentasi dalam melawan wacana feminisme liberal, feminisme marxisme, feminisme sosialisme, feminisme radikal, selain itu juga factor tersebut juga sebagai bangunan masyarakat Islam yang seenar-benarnya.
Namun sekarang kita harus mengakui bahwasannya immawati masih “polos” dalam gerakan dan kiprahnya sehingga berakibat pada mudahnya diombang-ambingkan oleh keadaan, mudah terseret arus yang sengaja di hembuskan oleh gerakan perempuan lain atau bahkan yang paling memilukan adalah terjadinya “migrasi kader” secara berjamaah ke organ gerakan lain seraya mengatakan IMM tidak jelas mabda'nya, IMM tidak jelas “kelaminnya” bahkan lebih tragis lagi dikatakan IMM tidak Islami, kiri, anti masjid bahkan kafir. Permasalahan diatas adalah realitas meskipun untuk saat ini kejadian seperti itu semakin menyusut. Sudah menjadi takdir mungkin IMM itu lahir dengan modal kelompok kreatif minoritas (creative minority society) yang kemudian berikat dalam tubuh IMM. Gerakan ini mengambil segmentasi di wilayah intelektual, dakwah dan sosial yang merupakan hasil pembacaan yang mendalam para the founding fathers kita dan sebagai antitesa dari gerakan kemahasiswaan yang ada pada saat itu. Oleh karena itu, IMM menjadi organisasi yang unik karena sifat gerakannya yang membumi melalui gerakan dakwah, sosial dan intelektual. Begitu juga dengan Immawati merosotnya pamor, kehilangan immawati sebagai kader IMM bahkan dipandang sebelah mata kehadirannya menjadi hal yang harus segera di benahi.

Lemahnya Doktrin IMMAWATI.
Secara normatif institusional maupun tekstual kita bisa memetakkan bahwa doktrin teologis-ideologis sangat kurang malahan tidak ada berjalan, doktrin hanya pada sisi biologis tanpa ada doktrin dari peran-peran intelektualitas, religiusitas dan humanitasnya. Sebenarnya teologi gerakan immawati yang dijelmakan menjadi teologi perempuan Islam harus digagas, dengan tujuan untuk meretas ketidakpahaman tentang wilayah peran maupun paradigma teologisnya dalam mencetak kader immawati maupun doktrin ideologi gerakan sebagai basis transformasi pandangan terhadap realitas immmawati khususnya maupun perempuan umumnya. Dan jika kita berkomitmen untuk menapaki jalan terjal perjuangan immawati sungguh sangat sulit untuk kita tempuh, Namun harus di ingat bahwa gagasan awal immawati adalah menentukan masa depan immawati sendiri tanpa berpijak kepada wacana dan teologi gerakan perempuan lainnya, yang justru menjejalkan immawati kearah penjarahan paradigma berfikir. Dengan demikian ide dan gagasan besar immawati akan hilang elan vitalnya jika eksistensi immawati dalam IMM sendiri enggan membaca, membedah dan menelaah apa itu sesungguhnya kelemahan sekarang ini. Namun persoalannya sejauh manakah immawati dapat menafsirkan dan mengaplikasikan doktrin teologis dan ideologisnya secara komprehensif. Lemahnya doktrin immawati baik dalam proses kaderisasi maupun paradigma yang bersifat non formalnya dalam tubuh immawati sendiri bisa menjadi indikator bahwa memang lemahnya loyalitas dan militansi seorang immawati bisa mengakibatkan fatal baik secara structural maupun secara nonstruktural. Sementara immawati di tuntut untuk bisa menjelaskan bahwa immawati harus mempunyai pemahaman dan praksis tauhid dan aqidah yang bulat, utuh, dan bersipat inklusifisme, egalitarianisme dan liberasi. Hal inilah yang menjadi titik kelemahan immawati, sehingga mudah di manfaatkan oleh gerakan lain untuk men-judge bahwa immawati tidak Islami, immawati kering akan sentuhan spiritualitas dan ruh keislaman, bahkan tidak jauh dari perempuan bukan immawati. Black campaigne ini jelas-jelas sangat merugikan immawati, meskipun hal tersebut tidak sepenuhnya benar dan salah. Untuk mengukur kekuatan doktrin immawati tentu harus memiliki komitmen yang kuat dalam menciptakan dinamika keilmuannya, dimana Immawati harus bersemangat dalam merekonstruksikan kekuatan individu yakni dengan proses pemaksimalan potensi diri melalui membaca, berfikir, menulis dan berdiskusi, tanpa adanya batas wacana. Potensi ini akan maksimal, ketika immawati membiasakan diri untuk melakukan doktrin diri, dengan system refleksi buku. Jangan sampai anggaran untuk membeli buku terbuang karena lebih senang untuk pemenuhan kebutuhan gaya hidup hedonis dan gaya-gayaan serta sombong padahal tak mampu. Sehingga hal seperti ini yang menyebabkan immawati tidak mengalami perkembangan scara efektif dan kontinyu.
Doktrin immawati adalah salah satu entre poin dan pijakan kuat bagi immawati untuk menanamkan dan membangun fungsi gerakan. Kekuatan parameter dan keberhasilan doktrinal haruslah terlebih dahulu di jelaskan dalam “Pedoman teologis dan Ideologis IMMAWATI” sebagai acuan dalam proses kaderisasi. Pembenahan pada sisi tri kompetensi IMM dan penegasan kembali peran serta fungsi immawati sangat penting untuk memberikan nilai-nilai ideologis (Islam, Muhammadiyah dan Keimmawatian), tanpa meninggalkan sisi ritual yang menjadi kewajiban seorang muslimah. Immawati juga harus sering berkumpul untuk menjaga silaturrahmi dan juga sebagai forum praktis kritis dengan tujuan membongkar kejumudan berfikir, Begitu juga dengan proses pelembagaan ritualisme ibadah, seperti shalat lail, puasa sunnat di kalangan IMM maupun immawati belum membudaya dan hanya pelengkap ketika proses DAD dan DAM berlangsung. Selain itu pemanfaatan masjid sebagai sentra kegiatan “student ideologis immawati” agar menjadi pemupus stigma negatif immawati. Dan ini bisa menjadi titik awal kembalinya immawati bangkit ke ruang-ruang diskusi sebagai aplikasi trikompetensi IMM. Proses pertukaran wacana akan semakin mempercepat kematangan intelektual seorang immawati. Immawati harus mneyempatkan waktu untuk dating ke forum-forum kajian IMM.42 Kemudian begitu juga dengan materi kajiannya harus yang bersifat kritis dan memberikan kontribusi atau benih intelektual IMM maupun immawati kedepannya (Materi rekayasa masa depan). Begitu juga dengan doktrin immawati dalam konteks student ideologis immawati, bahwa sahnya student ideologis immawati sebagai bentuk jaringan dalam memperkuat wacana yang dimanifestasikan ke eksternal structural gerakan, maksudnya membangun komonikasi gerakan dengan komonitas perempuan lain dengan tujuan memfollow up wacana yang telah didiskusikan secara matang yang kemudian mengkomparasikan dalam gerakan aksi nyata baik yang bersipat agitasi maupun nonligitasi atau bisa juga memperkuat wacana tersebut dalam kontek pemberdayaan dan penyadaran kolektif dalam suatu masyarakat, agenda ini merupakan program lanjutan immawati setelah pelaksanaan perkaderan yang bersipat formal.

Lemahnya Institusi Kaderisasi IMMAWATI.
IMMAWATI sebagai kader IMM sudah mempunyai acuan untuk menyelenggarakan perkaderan (Diksuswati). Namun acuan tersebut sudah dianggap usang dan telah lam difumigasikan dalam etalase perpustakaan IMM yang sampai sekarang belum ada yang berinisiatif untuk melakukan pertemuan Nasional, Daerah, cabang, dan Komisariat untuk membicara lebih khusus tetang pola kaderisasi Immawati. Padahal setiap agenda pertemuan tersebut merupakan ajang refleksi secara kritis sebagai bentuk ikhtiar immawati dalam menyongsong perubahan zaman. Kalau immawati menyerahkan pada pola dan Sistem Perkaderan Ikatan (SPI) yang telah beberapa kali mengalami revisi, itu semua dalam prinsip umumnya, tetapi belum ada dalam konteks khusu system perkaderan immawati yang sesuai dengan kondisi sekarang. Secara global, kita boleh berbangga dengan adanya SPI ini, karena isi dari SPI sebagai sebuah hand book perkaderan memuat materi dan metode yang menyentuh aspek-aspek dalam diri manusia yang meliputi afektif, kognitif dan psikomotorik. Namun yang menjadi titik lemah dari SPI ini adalah, perkaderan yang di usung selama ini lebih banyak bersifat formal dan utama. Sementara perkaderan non formal tidak tersentuh. Kemudian SPI juga tidak mengatur secara khusus materi-materi yang berkaitan dengan diksuswati satu sampai tiga. Begitu juga dalam melaksanakan MASTA dan berhasil menjaring ratusan anggota baru. Lalu menggodoknya dalam DAD sehingga lahirlah kader-kader yang militan. Namun setelah itu, apa yang akan kita lakukan dan berikan kepada mereka? Rentang waktu yang lama antara pasca MASTA hingga menjelang DAD serta pasca DAD lebih banyak diisi dengan kegiatan-kegiatan formalistik. Bidang-bidang yang ada di IMM seolah-olah “kebut kejar setoran” untuk menuntaskan programnya sebelum musykom tiba. Sehingga IMM lebih terkesan sebagai Event Organizer. Sementara pemenuhan sisi kognitif kader terpinggirkan. Jikalau ada, itu pun berupa kajian-kajian dengan tema seadanya dan tidak terstruktur rapi. Inilah lemahnya kita, belum mempunyai kurikulum yang terstandarisasi dengan baik dan rapi. Dengan demikian kaderisasi menjadi bagian terpenting dari sebuah keberlangsungan gerakan, seperti halnya IMM. Kader sebagai penopang organisasi jangan sampai terabaikan keberadaan dan kebutuhannya. Sebagian besar motif seseorang untuk masuk di IMM adalah karena faktor keinginan mengenal Islam lebih dalam. Hal ini adalah sah dan wajar bagi seorang anggota IMM. Untuk itulah sudah menjadi kewajiban bagi para Pimpinan (baik tingkatan Komisariat hingga struktur di atasnya) memfasilitasi kebutuhan kader tersebut. Dan kelemahan kita, kita belum mempunyai kurikulum untuk hal yang seperti itu. Sebagai solusinya adalah kita memerlukan perangkat berupa kurikulum yang berisi materi-materi perkaderan yang sistemik. Kurikulum ini menjadi pedoman bagi pelaksanaan perkaderan yang sifatnya non formal dan bisa di laksanakan dalam bentuk kajian atau bedah buku yang waktu pelaksanaannya seminggu sekali.
Hal ini bisa menjadi solusi atas kebuntuan proses perkaderan formal kita, selain itu bisa menjadi pola interaksi yang dekat dan menyentuh sisi afektif seorang kader karena adanya proses pemenuhan kebutuhan yang memang di harapkan seorang kader. Disinilah peran yang harus di perlihatkan melalui metodeologi student ideologi immawati sebagai basis perkaderan nonformal sehingga tumbuhnya pemahaman yang sistematis di internal immawati sendiri, kalau hal ini tidak terlaksana maka potensi immawati tidak bisa di identifikasikan secara makasimal dan immawati pun akan meninggalkan IMM