Rabu, 20 Maret 2013

Resensi


DAMAI ADALAH BEBAS DARI SEGALA KEKERASAN
OLEH : Nunung Qomariyah

Pengalaman perempuan berhadapan dalam  kekerasan hampir tidak ada dalam narasi besar sejarah indonesia. Buku aku memilih damai yang di tulis oleh lima perempuan muda ini merupakan upaya komnas perempuan mengangkat pandang perempuan tentang makna damai dan keadilan, yang berangkat dari pengalaman personal menanggapi kompleksitas persoalan kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik.
Kisah lima  perempuan diawali dari kisah Andi yentriani. Aktivis perempuan yang bertumbuh di komnas perempuan ini menyoal identitas etnis yang menjadi legitimasi sebagian orang melakukan legitimasi, sebagian orang melakukan diskriminasi dan kekerasan. Dalm pengalammnya tragedi kemanusiaan Mei 1998 menjadi tonggak keterlibatannya hingga kini dalam perjuangan  HAM perempuan. Berdasrkan pertemuan tim gabungan pencari fakta (TGPE) mei 1998, setidaknya 85 perempuan dari etnis tionghoa mengalami kekerasan seksual.

Sementara itu kesadaran Feri (bukan nama sebenarnya) diskriminasi rerhadap kekerasan terhadap perempuan dimulai sejak ia bergabung menjadi tim relawan Aceh pada 1999. Kesadaran tersebut berkembang seiring aktivitasnyamendampingi pengungsi selama dua bulan akibat kontak senjata GAM dan TNI. Dalm pengungsian itu ia menyadari betapa diskriminasi terhadap perempuan terus direproduksi dalam seluruh aspek kehidupan. Perepuan dalam situasi konflik juga ditempatkan dalam posisi yang sangat tidak meguntungkan. Misalnya menjadi alat penakluk. Alat teror, tameng, dan sebagai pelaku (hal. 101-102)
Meri Djami, perempuan asal NTT yang memfasilitasi terbangunya hubungan baik antara pengungsi pasca jajak pendapat timor-timur dan penduduk setempat. Sebagi seseorang penyintas kekerasan seksual, pergaulany dengan perempuan lain yang mengalami nasip sama membulatkan tekatnya untuk berjuangmegeluarkan peremuan dari lingkaran kekerasan.

Berada di ambon ditengah konflik membuat Baihajar Tualeka berhadapan dengan berbagai tindakan kekerasan seperti pembunuhan. Ketika berada didalam pengungsian, ia kerap melihat para suami memaksa isteri melakukan hubungan seks di tengah kondisi pengungsian yang tidak layak. Ia juga kerap melihat perempuan tidak memakai pakaian dalam, bahkan harus menyobek apapun manakala menstruarsi. Bersama beberapa kawan Bai membangun kekuatan diatas puing-puing sisa konflik dan menjembatani perjumpaan para perempuan lintas komunitas agama. Pelan-pelan perempuan ini berhasil menguatkan satu sama lain dan secara bersama-sama berusaha membangun masa depan Ambon supaya lebih baik.

Perjumpaan Th.J. Erlijna dengam isu perempuan dimulai ketika ia diajak oleh Agung Ayu dari Institute Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) menyiapkan kumpulan Esai tentang penglaman korban peristiwa 1965. Dari situ Erlijna memahami bagaimana orde baru membumi hanguskan gerakan perempuan. Selama lebih dari 32 tahun peran politik perempuan di publik di kontrol, di kerdilkan dan dimatikan secara sistematis.
Kelima kisah ini tak lain adalah hamparan tentang pengalaman perempuan berhadapan dengan kekerasan di situasi konflik. Dari peran mereka dapatkah kita melihat bagaimana perempuan bergerak membangun perdamaian secara sadar atas realitas ketertindasan yang mereka alami. Bagi mereka damai adalah bebas dari kekerasan, bebas daridari halangan untu memilih, bebas untuk berbicara (hal.6). semoga buku ini memotivasi  lebih banyak perempuan pembela HAM bereflleksi pengalaman mereka membangun damai dan keadilan.
(newsletter komnas HAM edisi 8) www.komnasperempuan.or.id