DAMAI ADALAH BEBAS DARI SEGALA KEKERASAN
OLEH : Nunung Qomariyah
Pengalaman perempuan berhadapan dalam kekerasan hampir tidak ada dalam narasi besar
sejarah indonesia. Buku aku memilih damai yang di tulis oleh lima perempuan
muda ini merupakan upaya komnas perempuan mengangkat pandang perempuan tentang
makna damai dan keadilan, yang berangkat dari pengalaman personal menanggapi
kompleksitas persoalan kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik.
Kisah lima perempuan
diawali dari kisah Andi yentriani. Aktivis
perempuan yang bertumbuh di komnas perempuan ini menyoal identitas etnis yang
menjadi legitimasi sebagian orang melakukan legitimasi, sebagian orang
melakukan diskriminasi dan kekerasan. Dalm pengalammnya tragedi kemanusiaan Mei
1998 menjadi tonggak keterlibatannya hingga kini dalam perjuangan HAM perempuan. Berdasrkan pertemuan tim
gabungan pencari fakta (TGPE) mei 1998, setidaknya 85 perempuan dari etnis
tionghoa mengalami kekerasan seksual.
Sementara itu kesadaran Feri
(bukan nama sebenarnya) diskriminasi rerhadap kekerasan terhadap perempuan
dimulai sejak ia bergabung menjadi tim relawan Aceh pada 1999. Kesadaran tersebut
berkembang seiring aktivitasnyamendampingi pengungsi selama dua bulan akibat
kontak senjata GAM dan TNI. Dalm pengungsian itu ia menyadari betapa
diskriminasi terhadap perempuan terus direproduksi dalam seluruh aspek
kehidupan. Perepuan dalam situasi konflik juga ditempatkan dalam posisi yang
sangat tidak meguntungkan. Misalnya menjadi alat penakluk. Alat teror, tameng,
dan sebagai pelaku (hal. 101-102)
Meri Djami, perempuan
asal NTT yang memfasilitasi terbangunya hubungan baik antara pengungsi pasca
jajak pendapat timor-timur dan penduduk setempat. Sebagi seseorang penyintas
kekerasan seksual, pergaulany dengan perempuan lain yang mengalami nasip sama
membulatkan tekatnya untuk berjuangmegeluarkan peremuan dari lingkaran
kekerasan.
Berada di ambon ditengah konflik membuat Baihajar Tualeka berhadapan dengan berbagai
tindakan kekerasan seperti pembunuhan. Ketika berada didalam pengungsian, ia
kerap melihat para suami memaksa isteri melakukan hubungan seks di tengah
kondisi pengungsian yang tidak layak. Ia juga kerap melihat perempuan tidak
memakai pakaian dalam, bahkan harus menyobek apapun manakala menstruarsi. Bersama
beberapa kawan Bai membangun kekuatan diatas puing-puing sisa konflik dan
menjembatani perjumpaan para perempuan lintas komunitas agama. Pelan-pelan
perempuan ini berhasil menguatkan satu sama lain dan secara bersama-sama
berusaha membangun masa depan Ambon supaya lebih baik.
Perjumpaan Th.J. Erlijna
dengam isu perempuan dimulai ketika ia diajak oleh Agung Ayu dari Institute
Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) menyiapkan kumpulan Esai tentang penglaman
korban peristiwa 1965. Dari situ Erlijna memahami bagaimana orde baru membumi
hanguskan gerakan perempuan. Selama lebih dari 32 tahun peran politik perempuan
di publik di kontrol, di kerdilkan dan dimatikan secara sistematis.
Kelima kisah ini tak lain adalah hamparan tentang pengalaman
perempuan berhadapan dengan kekerasan di situasi konflik. Dari peran mereka
dapatkah kita melihat bagaimana perempuan bergerak membangun perdamaian secara
sadar atas realitas ketertindasan yang mereka alami. Bagi mereka damai adalah
bebas dari kekerasan, bebas daridari halangan untu memilih, bebas untuk
berbicara (hal.6). semoga buku ini memotivasi
lebih banyak perempuan pembela HAM bereflleksi pengalaman mereka
membangun damai dan keadilan.
(newsletter komnas HAM edisi 8) www.komnasperempuan.or.id